Oleh : Mohammad Shafi
Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Sunan
Giri Surabaya
Sejak
awal terciptanya umat manusia di Mayapada ini, sejak saat itu pula diciptakan
karakter dasar manusia yang dengannya pula tercipta berbagai karakter turunan
yang beragam. Dicipta pula usia atau umur oleh Sang Khaliq pada diri
manusia sehingga hal itu dapat mempengaruhi perbedaan karakter dalam diri
manusia dalam masing-masing usia berbeda.
kalau
kita kerucutkan pada konteks kepemudaan masa kini, dimana karakter pemuda saat ini
telah banyak terdegradasi kepada lembah hedonis, westernis dan berbagai
karakter lain yang kurang produktif. Salah satu dinamika karakter pemuda masa
kini misalnya dari segi berbahasa, dimana pada masa kini banyak bermunculan
kosakata-kosakata baru yang hal itu berdampak kepada kemerosotan pemahaman
pemuda masa kini terhadap bahasa persatuannya.
Hal itu disebabkan oleh fenomena
Globalisasi dan Modernisasi yang mempermudah budaya dan bahasa dari negara luar
masuk ditengah bumi pertiwi ini, apalagi jika kita kaitkan dengan dibukanya
pasar bebas Negara-Negara tetangga (dalam hal ini MEA) yang keberadaannya
semakin memperluas jangkauan kemudahan bahasa dan budaya negara lain masuk di
Indonesia, haruskah kita apatis terhadap hal yang demikian? Atau akankah kita
tetap terjebak dalam romantisme meminta perlindungan kepada penguasa agar
bahasa dan budaya asing tidak boleh masuk di Nusantara ini? Sikap kebangsaan
seperti itu bukanlah hal yang keliru bagi kita selaku pemuda, akan tetapi
bagaimana tanggung jawab kita selaku pemuda Bangsa yang dahulunya berwibawa
ini? Bagaimana dengan mimpi mengguncang dunia yang pernah di tanamkan oleh Sang
Putra Fajar? Sementara berbahasa saja kita masih beken dengan kosakata pasaran
seperti Alay’s Language dsb. Itukah warisan Sang Putra Fajar? Itukah
yang diwariskan Sang Putra Fajar kepadamu Hai PEMUDA?
Sejatinya, masa depan suatu Bangsa berada
pada tangan pemuda yang berpegang teguh pada pilar dari suatu Bangsa itu
sendiri. Adapun hal itu akan diraih apabila warga negaranya (khususnya pemuda)
menjunjung tinggi bahasa persatuannya serta membanggakan diri dengan keberadaannya.
Sikap seperti inilah yang seharusnya ditanamkan oleh pemuda dalam setiap aliran
darahnya agar mengembalikan marwah Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang
berwibawa yang kemudian berimplikasi pada bangkitnya sikap dan jiwa
persatuan-kesatuan pemuda untuk mengembalikan kewibawaan Bangsa, karena
sejatinya kewibawaan hanya akan dapat diraih dengan sikap menghormati, menaati
dan menjunjung tinggi ideologi dan bahasa persatuannya.
28 Oktober 1928 atau sekitar 89 tahun yang
lalu adalah merupakan bukti konkrit bahwa seharusnya pemuda Indonesia memiliki
jiwa yang progresif, solutif, moderat, tanggungjawab dan cinta terhadap tanah
air dan tumpah darah yang satu tanah air Indonesia, cinta terhadap Bangsa yang
satu Bangsa Indonesia serta menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa
Indonesia. Bukan malah sebaliknya atau memiliki jiwa yang konservatif, tidak
bertanggung jawab dan berubah haluan dalam mencintai tanah air
yang satu tanai air dunia maya, cinta terhadap Bangsa yang satu, bangsa Medsos
serta Berbahasa yang satu, Bahasa Hoax. Saat itu pulalah (28/10/1928)
merupakan momentum perubahan untuk membangkitkan jiwa Nasionalisme (Hubbul
Wathan) dalam diri setiap pemuda kala itu. Adapun kini kita dituntut untuk
tetap menjaga kecintaan kita terhadap tanah air dan Bangsa Indonesia serta
berusaha dengan segenap rasa tannggungjawab dan komitmen untuk memberikan
kontribusi nyata dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik
Tercinta INDONESIA. (RB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar